BPL (Bahan Pangan Lokal)?: ini hanya masalah promisi saja!
Pisang Goreng Vs Bolu Coklat. |
Siang itu tepat pukul 13.00 WIT saya dan kawan-kawan sedang mengikuti pelatihan lokatulis di kantor salah satu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lokal bernama Bentara Papua. Awalnya kami kami beranggotakan empat orang tetapi, teman kami yang satunya telah mengkonfirmasikan bahwa ia tidak bisa mengikuti kegiatan pelatihan ini sebab ia mempunyai kesibukan lain di kampus. Hari itu cuaca agak mendung, titik-titik jujang tampak jelas dilihat dengan mata telanjang.
Di cela-cela waktu pelatihan agar
lebih santai kami disuguhkan berbagai makanan dan minuman, saat itu yang
tersedia adalah kopi hitam, kue bolu
coklat dan pisang goreng. Pelatihan yang kami ikuti berjalan dengan baik dari
awal hingga akhir sampai-sampi waktu yang telah ditentukan telah kami langgar
demi menyelesaikan tugas yang diberikan pada saat latihan yang belum
terselesaikan.
Tak ada yang ganjil selama proses
pelatihan ini berjalan, hanya saja saya begitu tertuju pada makanan yang telah
disajikan panitia pelatihan, selain karena memang saya lapar juga suka
mengamati makanan makanan itu. Saya memang
tidak memperdulikan kopi! karena ia bagian dari saya, maksudnya saya tidak
perlu memperdulikan kopi sebab kopi sudah begitu saya kenal selam ini.
Yang membuat saya heran adalah
pisang goreng dan bolu coklatnya, dalam pengamatan saya diantara kedua kue
tersebut yang akan menjadi sasaran peserta untuk habis duluan adalah kue bolu
coklat, tetapi kenyataannya berbanding terbalik melainkan pisang yang dibaluti tepung
dan digoreng yang dahulu habis.
Setelah mengamati itu kemudian
saya befikir, kenapa itu dapat terjadi bukankah jika kita umpamakan seperti
penumpang pesawat, pisang goreng merupakan kelas ekonomi sedangkan bolu coklat
adalah kelas bussines? makasudnya
begini, pisang adalah makanan kebun yang harganya murah, mudah didapat dan
rasanya tidak begitu enak dibandingkan bolu coklat yang merupakan makan
perkotaan berbahan baku cukup mahal, cara pengolahannya pun cukup rumit tetapi
rasanya tidak diragukan lagi. Bahkan jika pisang goren menggunakan gula
sekalipun begitu jauh levelnya dibanding bolu coklat. Padahal dalam kegiatan bukan
hanya orang Papua saja yang mengikuti pelatihan ini melainkan, juga ada
saudara-saudara kita dari berbagai suku-suku lain indonesia seperti Jawa, Sulawesi, dan Maluku.
Bukan menurunkan derajat makanan
saya dan para peserta lain tetapi ternyata, pisang goreng yang sudah tidak lazim dan
begitu murah di Papua ini tenyata terlihat lebih seksi dibanding bolu coklat,
menurut saya ini indikator penting tentang penerimaan konsumen tentang bahan
makanan lokal Papua dilihat selama ini.
Berarti ada kemungkinan besar
bahwa jika produk-produk seperti bolu coklat diganti bahan bakunya menjadi
bahan baku lokal akan makin seksi dilihat karena penerimaan bahan pangan lokal
Papua yang sudah begitu familiar.
bayangkan jika itu sagu yang
dapat di olah menjadi bolu atau cake, atau mungkin kue kering dan atau segala
macam yang berbau makanan berbahan dasar tepung dapat diganti dengan sagu yang
merupakan makanan lokal itu, akan memberi pengaruh besar terhadap perekonomian
rakyat.
Tepung terigu yang banyak di
pasar dan toko-toko di kota manokwari ini seperti narkoba yang membuat semua
orang termasuk saya menjadi candu, bukan
tidak boleh menggunakannya tetapi
kebutuhan akan terigu membuat negara ini mengimport dari negara lain, jika
terigu diganti dengan sagu mungkin dapat
mengurangi kecanduan kita terhadap terigu dampak baik dari migrasi konsumsi itu
menyebabkan pertumbuhan ekonomi rakyat Papua ini menjadi lebih berkembang dan
lebih baik.
Memang pada kenyataanya peggunaan
terigu begitu populer dibanding sagu, ini hanya masalah promosi saja, layaknya
selebriti jika diberitakan semua orang akan heboh karena ia begitu terkenal,
sebab ia sudah pernah memainkan film layar lebar, iklan dan lain sebagainya
sbaliknyaa jika beritanya tentang saya
atau teman kantor saya orang mungkin takakan perduli karena saya dan teman
kantor saya tidak terkenal, begitu juga dengan sagu, ini hanya masalah promosi saja yang penting,
penerimaan sagu sudah begitu familiar di kalangan masyrakat dengan begitu untuk mempromosikan pangan
lokal akan lebih mudah.
Comments
Post a Comment